Batam (Humas) -Pada hari Sabtu, 11 Nopember 2017 umat Hindu kota Batam kembali merayakan hari raya Kuningan sebagai bagian dari rangkaian hari raya Galungan sebelumnya. Persembahyangan dilakukan pada 2 (dua) waktu yang berbeda. Di pagi harinya dilangsungkan di Pura Satya Dharma Muka Kuning, Batamindo dan pada malam harinya dilaksanakan di Pura Agung Amertha Bhuana, daerah South Link, Kota Batam. Hadir pada kesempatan itu Penyelenggara Hindu Kantor Kementerian Agama Kota Batam dan lembaga agama keagamaan di Kota Batam. Menurut Putu Suardika selaku Ketua Unit Kerohanian Batamindo (UKHB) ditemui pada hari Sabtu pagi di Pura Satya Dharma, Kawasan Industri Muka Kuning, Batamindo, hal ini terjadi karena masayarakat hindu Kota Batam beragam latar belakang profesinya. Ada yang masuk kerja dan tidak bisa meninggalkan pekerjaan. Putu menjelaskan bahwa umat Hindu harus mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia di hari Raya Galungan. Pada malam harinya, di Pura Agung Amerta Bhuana, Kawasan South Link, Sei Ledi, Eko Prasetyo selaku Penyelenggara Hindu Kantor Kementerian Agama Kota Batam berkesempatan memberikan dharma wacana (ceramah keagamaan) perihal Kuningan. Eko menegaskan bahwa Hari Raya Kuningan jatuh setiap 210 hari sekali atau sekitar 6 bulan tepatnya 10 hari setelah hari raya Galungan. Hari raya Kuningan jatuh setiap hari Sabtu Kliwon wuku Kuningan. Kuningan berasal dari kata “Kawuningan” yang artinya kesejahteraan dan kemakmuran. Kuningan adalah hari di mana Tuhan dan leluhur menganugerahkan kemakmuran kepada keturunannya. Eko juga berpesan kepada para siswa pasraman agar selalu berbhakti kepada orang tua, membantu orang tua dan rajin belajar, rajin sembahyang. Karena orang tua adalah perwujudan leluhur di muka bumi ini. Menurut Eko di zaman yang serba modern ini, nilai – nilai kebenaran mulai memudar. Eko menceritakan empat hal bentuk menurunnya ajaran kebenaran. Yang pertama bahwa nilai – nilai kebenaran itu sangat indah diucapkan tetapi sangat sulit untuk dilaksanakan, yang kedua adalah di zaman sekarang ini kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin sangat tinggi. Sedikit orang kaya yang mau membagikan kekayaannya untuk kesejahteraan bersama. Yang ketiga adalah kasih sayang orang tua yang berlebih dan diwujudkan dalam bentuk materi kepada anaknya justru akan menghambat kemajuan kepribadian sang anak. Maka dalam Kitab Nitisastra kita diajarkan tahapan – tahapan mendidikan anak, di mana umur 0 - 5 tahun kita perlakukan seperti raja, umur 6 sampai dengan 15 tahun kita berikan hukuman jika bersalah, umur 15 tahun ke atas kita perlakukan seperti sahabat. Yang terakhir, EKo menggambarkan bahwa nilai kebanaran di zaman sekarang sangat merosot, manusia banyak mengalami permasalahan hidup yang timbul dari perbuatannya sendiri dan hanya nama Tuhan yang menyelamatkan manusia dari kegelapan dan penderitaan. Di akhir wacananya Eko menjelaskan bahwa dalam Kuningan menggunakan upakara sesaji yang berisi simbul sulanggi, nasi tebog, tamiang dan endongan. Di sinilah terjadi pencurahan kasih sayang leluhur kepada anak cucunya dengan mendatangi kita untuk memberi berkat dan petunjuk bagi kita semua. Maka seyogyanya kita juga harus menghaturkan sesaji tempat leluhur kita berstana. Sulanggi artinya bahwa orang tua harus menjadi contoh yang benar bagi anak-anaknya. Nasi tebog memilikki makna bahwa kita harus berbagi dengan sesama manusia dan makhluk lain. Kuningan juga merupakan perlambang kasih sayang orang tua kepada anaknya yang diwujudkan dengan kompek/endongan, kolem dan Tamiang memiliki lambang perlindungan terhadap anak-anaknya dan juga juga melambangkan perputaran roda alam yang mengingatkan manusia pada hukum alam. Jika masyarakat tak mampu menyesuaikan diri dengan alam, atau tidak taat dengan hukum alam, risikonya akan tergilas oleh roda alam. Tamyang sebagai simbol penolak malabahaya. Simbol cakra pada banten Kuningan menggambarkan bahwa kita juga harus memutar roda ekonomi kehidupan Sebuah keluarga harus mampu memberdayakan potensi ekonomi keluarga. (ep2017)